PENGERTIAN DAN CONTOH EPISTEMOLOGI BAYANI BURHANI DAN IRFAN
PENGERTIAN DAN CONTOH EPISTEMOLOGI
BAYANI BURHANI DAN IRFANI
![]() |
DISUSUN OLEH :
NAMA : YENI PUTRA ASMARA
NIM : E520183516
PROGRAM
KHUSUS PPNI PATI STUDI S-1 KEPERAWATAN
STIKES
MUHAMMADIYAH KUDUS
TAHUN
2018 / 2019
EPISTEMOLOGI BAYANI,
BURHANI, IRFANI
A. Epistemologi Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara
menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam
studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun
corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari
(apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul terhadap
epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari epistemologi
ini. Diantaranya adalah :
1.
Epistemology ini
menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang
harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh
dipertanyakan apalagi ditolak.
2.
Teks yang dikaji
pada epistemology bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali
historitas aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post
industry dan informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada
masa kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3.
Kajian dalam model
epistemology bayani ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan
konstektualisasi (relevansi).
Sebenarnya model berpikir
semacam ini sudah lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan
ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a)
Memahami atau
menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam
(atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk
mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b)
mengambil istinbat
hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan,
epistimologi bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang
didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh
menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal
makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu epistemologi bayani menggunakan alat bantu
(instrumen) berupa ilmu-ilmu bahasa dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul,
dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci
yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asli, far'I, lafz ma'na,
khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf).
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
·
Bayan al-i'tibar,
yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a)
al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang
bersifat yaqin maupun tasdiq;
·
Bayan al-i'tiqad,
yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna
muasyabbih fih, dan makna bathil;
·
Bayan al-ibarah
yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b)
al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
·
Bayan al-kitab,
maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat,
katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka
peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks
yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan
memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki
kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik kelemahan dari epistemology
bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah
ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa,
atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya
berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima
oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap
mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul
suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam konteks ini tentu
diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama saya).
Metode dan Pendekatan yang Digunakan dalam Bayani
a)
Metode Qiyas.
1.
Untuk
memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya
adalah :
·
Berpegang
pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab,
seperti nahw dan sharâf sebagai
alat analisa.
·
Menggunakan
metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama
epistemologi bayani.
2.
Dalam
kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan
sebagai memberikan keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang
telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan illah. Ada
beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas, yaitu :
·
Adanya al-ashl, yakni nas suci yang memberikan hukum dan
dipakai sebagai ukuran.
·
Al-far`, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nas.
·
Hukm
al-ashl, ketetapan hukum
yang diberikan oleh ashl.
·
Illah, keadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar
penetapan hukum ashl.
Contoh Metode qiyas yang digunakan dalam Bayani adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari
perasan kurma disebut far` (cabang)
karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan diqiyaskan pada
khamer. Khamer adalah ashl (pokok)
sebab terdapat dalam teks (nash) dan hukumnya
haram, alasannya (illah) karena memabukkan. Hasilnya,
arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr, yakni sama-sama
memabukkan.
b)
Metode Istinbath/Istidlal
Istinbath hukum-hukum dari an-nusush ad-diniyyah dan al-Qur’an khususnya. Dalam bahasa filsafat yang
disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi
berpikir yang didasarkan atas teks (nash). Dalam hal ini teks sucilah yang
memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah khitab. Fungsi akal
hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya. Makna yang dikandung
dalam, dikehendaki oleh, dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan
mencermati hubungan antara al-ma’na dan al-lafzh. Hubungan antara makna dan lafadz dapat
dilihat dari segi :
1)
Al-Ma’na
al-Wadh’i, untuk apa makna
teks itu dirumuskan, meliputi makna khas, ‘am dan musytaraq.
2)
Al-Ma’na
al-Isti’mali, makna apa yang
digunakan oleh teks, meliputi al-ma’na al-haqiqi(sharihah dan mu’niyah) dan al-ma’na almajazi (sharih dan kinayah).
3)
Darajah
al-wudhuh, sifat dan kualitas
lafazh, meliputi muhkam, mufassar, nash, zhahir, khafi,
musykil, mujmal, dan mutasyabih.
4)
Thuruq
ad-Dhalalah, penunjukan lafazh
terhadap makna, meliputi dilalah al-‘ibarah, dilalah
al-isyarah, dilalah an-nash dan dilalah
al-iqtida’ (menurut Khanafiyah),
atau dilalah al-manzhum dan dilalah al-mafhum baik mafhum al-muwafaqah maupun mafhum al-mukhalafah (menurut asy-Syafi’iyyah).
B.
Epistemologi
Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera,
percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya
sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman
dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber
pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan
dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil
penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di
alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang
digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian
empiris.
Mengenai model berpikir bayani dan burhani Van Peursen
mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak
dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan,
sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan
pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional
argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio
melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)
dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun
teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Dari pendapat tersebut kita seharusnya bisa mengambil
sikap terhadap kedua epistemology bayani dan epistemology burhani, bukan
berarti harus dipisahkan dan hanya boleh mengambil atau memilih salah satu
diantara keduanya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem social dan dalam
studi islam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini
muncul nalar aduktif, yakni mencoba untuk memadukan model berpikir deduktif dan
model berpikir induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat konstektual
terhadap nash dan hasil penelitian-penelitian empiris justru kelak melahirkan
ilmu islam yang sempurna dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan kelak
dapat menuntaskan problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.
Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks)
yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang
ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang
ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh
Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian
hermeneutic).Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks
ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan
mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam
(kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan
realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks)
berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri,
ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus
darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat
(kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai
kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai
sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1.
Ilmu al-lisan, yang pertama
membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam
ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah
yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. Dan
2.
Ilmu al-mantiq, yang membahas
masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala
sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu
tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan
hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang
digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang
mungkin diperoleh darinya.
Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula
(metafisika) dan falsafat al-thani.
·
Falsafat al-ula
membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir
(jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah,
dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq
(sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang
berlaku pada manusia).
·
Sedangkan falsafat
al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1)
hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah
al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu
gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang
bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi:
kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan
tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai
sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract
and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang
berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science,
al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah).
Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban,
nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan
sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila
dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi
(antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti
yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di
Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam
untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara
anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman
dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa
melakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati
maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam.
Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan
kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran,
ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat
muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini
pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui
konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang
kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada kesinambungan
historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran
keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kelemahan dan kendala yang sering dihadapi dalam
penerapan pendekatan burhani ini adalah sering tidak sinkronnya teks
dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam
permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana kita
ketahui bahwa masyarakat lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada
kontekstualitasnya, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak
sedikit.
Contoh dari
pola berpikir burhani imam hanafi
adalah ketetapan mengenai kafa’ah. Imam Abu Hanifah di baghdad – yang merupakan
komunitas campuran Arab, Persia dan Turki – menetapkan peraturan tentang
kafa’ah (kesetaraan) dalam hal kekakayaan dan status dalam akad perkawinan.
Sementara di madinah, yang tersusun atas masyarakat yang lebih homogen,
peraturan pernikahan seperti itu tadi tidak dibutuhkan. Untuk sebuah alasan
yang sama, budak memiliki hak atas harta kekayaan di Baghdad, sementara di
Madinah mereka tidak memilikinya.
C. Epistimologi Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain :
'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum
Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para
ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan
al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk
memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang
dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun
untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan
istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang
bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan
intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj
iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak
menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj
iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap
dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj
ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 =
4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan
ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj
kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum
'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari
persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan
menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah
al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah).
Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber
pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna
batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani
meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan
zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan
makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2)
ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab
atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada
gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully
dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil.
Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan
pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat
pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada
sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah
falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah)
harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah
al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi
pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Contoh konkret dari
pengetahuan 'irfani adalah pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu
al-Qur'an. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin
pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat
subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap
orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka
validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat
partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam
tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk
memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk
sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan
pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya
pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan
struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh
orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks
pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan
esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan
adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi
dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius
diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara.
Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan,
pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ketiga
epistemologi Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, epistemologi bayani,
irfani, dan burhani :
Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani
|
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/
Nash
|
Ilham/ Intuisi
|
Rasio
|
|
Metode
|
Istinbat/ Istidlal
|
Kasyf
|
Tahlili (analitik),
Diskursus
|
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
logika
|
|
Tema sentral
|
Ashl – Furu’
Kata – Makna
|
Zahir – Batin
Wilayah – Nubuwah
|
Essensi – Aksistensi
Bahasa – Logika
|
|
Validitas kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi
Konsistensi
|
|
Pendukung
|
Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
D.
Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya.
Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan
ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu;
sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak
menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau
kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi
bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi
(al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah)
Sikap terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu,
bayani, burhani, dan irfani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh
memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem dalam
studi islam justru dianjurkan untuk memadukan ketiganya. Dari perpaduan
ketiganya akan muncul ilmu islam yang lengkap (komprehensif), dan kelak dapat
menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keindonesiian.

Komentar
Posting Komentar